Sunday, October 26, 2014

I'm Fine, as Always.. (dan Doa)

Para pembaca yang rajin mengikuti blog saya ini tentu akan sadar bahwa kebahagiaan adalah tema sentral blog ini. Kebahagiaan, bagaimana caranya bahagia, the pursuit of happiness, bukannya hal-hal inilah yang harus kita utamakan? Kalau tidak bahagia dulu, buat apa hidup?

Saya ingat sekali, saat pertama kali bertemu Mr Eddy, Beliau bertanya ke saya:

Master: "Mas Tommy, kalau nanti kamu di Amerika sana, orang lain bertanya: 'How are you?'  Bagaimanakah kamu akan menjawabnya?"

T: "I'm fine, thank you. And you?".. "Begitu, Pak.."

Master: "Gini, mas. Tambahkan fine, as always. Jadinya 'I'm fine, as always.' ".

Ya, dengan menjawab 'fine, as always', kita afirmasi ke diri kita sendiri bahwa kita selalu baik-baik saja, walaupun dunia lagi jungkir balik dan hati kita lagi berdarah darah. Sambil tersenyum manis kita lalui hidup kita ini.. Kata Mr Eddy, dengan mengucapkan kata-kata ini aja, stamina kita langsung naik. Keringat dingin pun menjadi hangat kembali.. hehehe..

Konon katanya ini adalah sikap, ini adalah attitude milik manusia-manusia baru, modern, zaman sekarang. Yang katanya berdoanya sudah bukan curhat kepada Tuhan:

"Kalo dulu: 'Tuhan, aku punya masalah banyak nih, gimana nih..' Kalau sekarang, kita bilang: 'Heyy masalah, gue gatakut, gue punya Tuhan!!' heee.. beda kan! hehehe."

Sesungguhnya attitude pantang takut dan selalu kuat ini adalah suatu attitude yang paling bermanfaat.. Saya sendiri pernah mengalaminya: Dikala diri sedang sedih atau stress, saya berusaha untuk ketemu dengan teman-teman. Mereka menanyakan apa kabar, dan jika saya menjawab "Fine as always" sambil tersenyum lebar-lebar (walaupun dalam hati rasanya kepiningin menangis atau menggorok leher teman tersebut), tiba-tiba rasanya langsung enakan. Galau yang menggunung itu rasanya seperti garam yang dilarutkan oleh air laut. Kenapa ya?

Sebenarnya saya pernah baca sebuah penelitian psikologi mengenai efek perbuatan terhadap tingkat emosi. Para peneliti tersebut berkesimpulan bahwa bukan hanya emosi mempengaruhi perilaku, tetapi sebaliknya, apa yang kita lakukan akan mempengaruhi emosi kita. Apa implikasinya? Kalau kita berbuat baik atau bertingkah senang, bahagia, dan rahayu, diri kita di dalam juga akan senang. Memang, pertama-tama rasanya agak 'terpaksa', tetapi lama-kelamaan eeeh malah fine beneran.. hehe.

Wah, ternyata ini toh, maksud Mr Eddy, 'fine as always'.. Mungkin ini juga pelajaran buat saya, supaya mengamini untuk punya cukup iman, dan dengan iman kita bisa menciptakan kebahagiaan. Semua cuma dengan satu kalimat singkat dan sederhana saja.. "I'm fine, as always.."

Baik, Pak. I'm fine, as always.. Terimakasih yaa :)

Salam Rahayu,


Sunday, October 19, 2014

Aku Cinta Kamu

Ayn Rand, seorang pengarang terkenal, memiliki sepenggal kalimat indah di dalam bukunya, The Fountainhead. Kalimat itu adalah: 'To say "I love you" one must know first how to say "I"."

Bisa diterjemahkan sebagai berikut: "Sebelum mengucapkan 'aku cinta kamu', seseorang harus tahu bagaimana cara mengucapkan 'aku'.

Artinya apa? Untuk mencapai cinta sejati, sebelum kita bisa mencintai orang lain, alangkah baiknya jika kita belajar mencintai diri kita sendiri dulu. Toh, ketika kita merubah diri kita, kita sedang mengubah dunia. Hal terbaik yang kita bisa lakukan untuk orang-orang di sekitar kita adalah memperbaiki diri kita, sebab dengan menjadi lebih baik, dunia akan memiliki satu lebih sedikit orang jahat yang harus mereka hadapi. Pada dasarnya, semua perbuatan adalah perbuatan yang mulia dan perbuatan yang egois, jadinya, mengapa kita tidak menolong diri kita sendiri, untuk menolong orang lain juga? :)

Ini kata-kata Mr Eddy:
"Cintailah tiga hal terlebih dahulu:
  1. Cintailah dirimu sendiri: Ciptaan Tuhan yang terdekat dari dirimu. Kamu bukan manusia sembarangan, ciptaan Tuhan.  Inilah cinta yang tanpa batas
  2. Kemudian, cintailah sebab kamu dilahirkan di dunia. Orangtuamu, itulah cinta yang sangat tulus.
  3. Dengan mencintai diriku, aku belajar mencintai orang lain. Ini barulah cinta sejati. Jadi kamu harus mencintai dirimu dulu, baru bisa di share kepada orang lain, yang layak mendapatkan cinta sejatiku.."
Tentang mencintai diri sendiri:
"Aku belajar mencintai diriku. Setelah berkomitmen baru dilihat. Aku komit ke diriku sendiri.Cinta itu segala-galanya. Cinta itu everything. I love my school, education pun selesai dengan cepat. Aku cinta kerjaanku, eh duit ngalir kayak kencing. Cinta itu semangat yang tidak bisa dipatahkan, karena mencintai dirimu adalah mencintai penciptamu! Body, mind, soul, ciptaan Tuhan! Dengan mencintai dirimu kamu mencintai Tuhan. Tanpa batas."

Kemudian, tentang mencintai orangtua, Mr Eddy sendiri percaya bahwa surga berada di telapak kaki ibunya.. Beliau saja sampai sujud, menyembah, sungkem terhadap ibunya, mohon ampun dan minta restu beliau. Sebegitunyalah rasa cinta dan hormat Mr Eddy kepada ibundanya.

Terus setelah beres tiga tahap cinta itu..
"Aku ingin hidup diantara cinta yang sejati. Perpaduan dua cinta yang sejati itu. Ga takut putus cinta.. karena masih banyak yang layak mendapatkan cinta sejati dari diriku sendiri.."

Saya tidak ingin terlalu banyak menginterpretasikan kata-kata Beliau, sebab wisdom yang muncul dari kata-kata beliau ini memang sudah sangat jelas, tetapi izinkanlah saya untuk mengelaborasi tiga cinta tersebut. Tiga tahapan cinta ini sangat mirip dengan sekolah: Mencintai diri sendiri layaknya sarjana S1, mencintai orangtua layaknya master S2, dan kalau begitu mencintai orang lain adalah doktor, atau S3. Apakah itu mungkin, atau apakah itu sehat, bagi kita untuk belajar materi S3 sebelum kita mulai belajar materi S1 atau S2? Apakah kita nggak akan mengerang-erang kesulitan dan kesakitan? Sayangnya di dunia ini kebanyakan orang mulai dari menjadi "doktor cinta" padahal sarjananya aja belum beres. Makanya nggak aneh kan tingginya frekuensi tangis darah atas nama cinta? Andai mereka tahu lebih baik.. hehehe ;)

Salam Rahayu,

Sunday, October 12, 2014

Kolam Iman dan Langit-langit Kepercayaan

Saya barusan menonton video inspiratif dari Vishesh Lakshmi, pendiri Mindvalley.com, sebuah perusahaan yang memiliki misi untuk meninggikan spiritualitas umat manusia melalui pelatihan-pelatihan dan seminar spiritualitas. Vishesh menceritakan model-model kepercayaan dia, dan salah satu dari empat model tersebut adalah kolam iman (faith reservoir) dan langit-langit kepercayaan (belief ceilings).

Inti dari kolam iman adalah suatu konsep, atau kesadaran, dimana faith atau iman kita merupakan sebuah otot yang dapat dilatih. Jika Anda ingin menang tinju melawan Mike Tyson, maka Anda harus melatih otot-otot Anda dan berlatih bertinju, bukan? Logika yang sama juga berlaku; kalau Anda ingin mewujudkan impian terbesar Anda, maka Anda harus perlahan-lahan melatih faith Anda supaya makin lama Anda makin percaya, dan lama-kelamaan Anda mampu mewujudkan impian-impian terbesar Anda.

Ini mengingatkan saya kepada ajaran Mr Eddy yang saya intip dari archive KKAS yang lampau. Menurut beliau, untuk mewujudkan sesuatu, kita harus tahu kenapa kita mau mewujudkan impian tersebut (aspek why dari impian tersebut) ketimbang memusingkan bagaimana dan kapan kita bisa mewujudkan impian tersebut (aspek how and when dari impian tersebut). Begitu kita sudah tahu apa yang mau kita capai, kita cari tahu dan tanya dalam-dalam mengapa kita mau mencapai impian tersebut. Sudah begitu, visualisasikanlah dan lakukanlah afirmasi bahwa impian itu sudah tercapai, dan ucapkanlah terima kasih dan tingkatkan rasa haru dan bersyukur. Mulai dari memanifestasikan hal-hal kecil, ingatlah baik-baik, dan saat rasa percaya diri dan kolam iman bertambah dalam maka wujudkanlah hal-hal yang lebih besar.

Tetapi, ketika kita berusaha sebisa mungkin, sekuat tenaga dalam percaya dan mewujudkan visi kita, kita suatu saat akan tersangkut di "belief ceilings" atau langit-langit kepercayaan kita. Apa itu belief ceilings? Menurut Vishesh, belief ceilings merupakan kumpulan dari kepercayaan-kepercayaan irasional kita, yang tertanam di dalam pikiran bawah sadar kita, dari omongan-omongan orang-orang di sekitar kita, baik ketika kita kecil atau ketika sudah besar. Kepercayaan-kepercayaan irasional inilah yang menahan kita untuk mewujudkan impian terbesar kita. Misalnya, ada beberapa wanita yang percaya bahwa karena mereka hanyalah seorang wanita, mereka tidak bisa menjadi seorang pebisnis sukses. Atau karena mereka berasal dari negara yang miskin, atau berlatar belakang etnis tertentu, makanya tidak bisa melakukan ini dan itu.

Hancurkanlah langit-langit itu. Hancurkanlah dengan sekuat tenagamu. Hancurkanlah dengan segenap jiwa dan ragamu. Sebab, kita merupakan utusan Tuhan, Tuhan hidup di dalam diri kita. Apakah yang tidak mungkin kalau Tuhan merupakan kita, dan kita merupakan Tuhan?

Kata Vishesh, cara terbaik menghancurkan langit-langit tersebut adalah dengan membaca banyak biografi dan kisah-kisah inspiratif tentang orang sukses. Orang-orang tersebut telah melampaui segala hambatan dan rintangan, dan telah menghancurkan langit-langit tersebut, seperti Steve Jobs, Sam Walton, dan sebagainya. Ketika kita menyadari bahwa mereka bisa, kita juga sadar, dan perlahan-lahan juga percaya, bahwa kita JUGA bisa. Tidak ada lagi alasan kenapa kita tidak bisa.

Saat Vishesh menghantam saya dengan pencerahan ini, saya sadar dan teringat kembali salah satu hal paling penting yang saya pelajari dalam pertemuan saya dengan Mr Eddy: Mr Eddy merupakan model saya, merupakan inspirasi saya, Beliau mengajari saya puncak dari puncak kesuksesan dan bagaimana cara hidup berkualitas. Mr Eddy mendirikan lapangan terbang sebelum beliau mulai kuliah. Beliau lulus S1 hanya dalam 1 1/2 tahun, S2 dalam 9 bulan, dan S3 (Doktor Filosofi) dalam 3 bulan dari Boston University. Beliau memimpin ratusan perusahaan di dunia (saat beliau berada di Amerika Serikat) dan suksesnya perusaahan-perusahaan tersebut dapat diukur dari triliunan dolar yang dihasilkan. Beliau kemudian menjadi mentor berbagai klub-klub spiritual, dan tentu saja para pemimpin dan penguasa dunia. Sambil menikmati hidupnya di Indonesia, Beliau juga bertemu dengan kita (para muridnya yang tengah menghadapi kesulitan dan perlu bimbingan), dan Beliau menghibur kita. Mr Eddy pun punya sense of fashion yang amat tinggi, dengan selalu bergaya keren dan memakai parfum seperti Jo Malone, gaya hidup dan pilihan Beliau, yang amat dinikmatinya, pun menjadi inspirasi dan standard saya.

Mengenal Mr Eddy, mendengar kisah-kisahnya, dan melihatnya dalam hidup saya secara langsung merupakan suatu anugerah yang sangat besar tersendiri, sebab Beliau telah menunjukkan apa yang dapat saya raih dari hidup saya. Beliau telah menghancurkan langit-langit saya. Makasih paak.. :) Untuk informasi lebih lanjut mengenai Mr Eddy bisa dilihat di Tentang Edhaka.

-Salam rahayu,

Sambilan (Buat yang kangen Mr Eddy)

Dear pembaca dan rekan-rekan murid Mr Eddy,

Pasti ada yang kangen sama Mr Eddy kan? Hehe. Kalo, iya, bisa nonton video berikut. Terimakasih banyak kepada Mbak Ira yang telah memberitahu saya soal keberadaan video ini. :)

Buat yang menonton video ini, maka akan mengerti kenapa Mr Eddy berkali-kali menegaskan bahwa Indonesia adalah pulau para dewa, dan sebentar lagi kita akan maju dan memimpin dunia. Karena pusat energinya ada di sini, di Indonesia.



-Salam Rahayu,

Saturday, October 4, 2014

Ala Apa Adanya (AAA)

Salah satu hal yang saya pelajari dari Mr Eddy adalah konsep "apa adanya", dan tampaknya ini merupakan bagian sentral dari ajaran/konsep Beliau.

"Ingat, dunia tertinggi adalah terserah, dan apa adanya. Seperti ini apa adanya. Sebab disitu apa-apa bisa dan apa-apa dapat."

Ini adalah salah satu dari kalimat Mr Eddy yang nampaknya penuh dengan makna yang dalam. Kalau menurut saya, terserah dan apa adanya berkaitan langsung dengan konsep terima jadi apa adanya, dalam konteks ini berarti apapun yang telah dijamin dan diselenggarakan oleh sang soul kita. Bukan saja menerimanya, kita juga mesti bersyukur, dan disela-sela bernafas santai, kita berusaha untuk menikmatinya semaksimal mungkin.

Saya jadi teringat waktu saya mengikuti KKAS pertama kalinya, ada seorang murid (Mbak Hesti) yang bertanya kepada mr Eddy di sesi tanya-jawab. Salah satu jawaban yang Mr Eddy berikan adalah: "Mbak Hesti, mesti belajar menerima.. Kalau dimarahi walaupun kita tidak salah (tetap benar) terima ga? Kalau ngga nerima, itu belom seratus persen, baru separo.."

Beliau melanjutkan sebagai berikut: "Sebelum kita punya keinginan, soul itu sudah menyiapkan apa yang kita mau. Begitu dirasa sudah siap, baru di inisiasi keinginan kita. Karena kita belum tahu, ya kita tahunya terima jadi aja. Terima aja! Orang itu semua impermanence kok. Sementara, dan akan berlalu. Jangan nge judge “begini terus”, inget impermanence!"

Dari kata-kata beliau, kita sadar bahwa bagian dari menerima adalah tidak men-judge situasi apapun atau siapapun. Dan, kata-kata Beliau ini diafirmasi oleh berbagai tokoh spiritual yang terkemuka dari dari sepanjang waktu: Sesungguhnya, situasi yang kita hadapi semuanya bersifat netral. Tidak ada yang absolut bagus atau absolut jelek. Pertanyaannya adalah apakah kita mampu menerima apa yang telah diselenggarakan untuk kita, dan bagaimanakah kita menginterpretasikan situasi-situasi tersebut. Apakah kita akan menjadi reaktif, dan merespon sebagaimana lingkungan, kultur, dan keluarga mengkondisikan kita, atau apakah kita mampu menjadi proaktif dan belajar untuk menikmati semuanya semaksimal mungkin dan menjadikannya pelajaran-pelajaran untuk perkembangan karakter Soul kita?

Lao Tzu, filsuf ternama dari Tiongkok pernah berkata: "Ingatlah untuk merasa puas untuk apapun yang kamu punyai; bersyukurlah untuk segala keadaan yang kamu hadapi. Ketika kamu sadar bahwa kamu tidak kekurangan apapun, seluruh dunia adalah milikmu."

Bukankah ini sangat mirip dengan kata-kata Mr Eddy bahwa ketika kita menerima semuanya apa adanya, maka apa-apa bisa dan apa-apa dapat? Sebab jika kita menerima, maka kita tidak men-deny. Kita tidak menolak kenyataan, maka kita mampu merubahnya. Tetapi penerimaan harus terjadi sebelum perubahan. Makanya orang denial tidak pernah maju-maju. (Diskusi mengenai konsep denial akan dilakukan di post-post mendatang.)

Bagaimana pendapat kawan-kawan pembaca? Silahkan berbagi tentang interpretasi Anda masing-masing mengenai konsep ini. Terimakasih!

-Salam Rahayu,

Wednesday, October 1, 2014

Berdarah-darah

Ini salah satu ajaran Mr Eddy yang saya paling suka.

Alkisah, suatu hari saya duduk ngopi bersama beliau, terus beliau buka dengan cerita:

"Mas Tommy, kalau suatu hari nanti teman mas ada yang curhat begini.."

Teman: "Aduh toomm gue berdarah darah diluar sana."

Mas Tommy: "Mana darahnya?"

Teman: "Bukan badan gue. Perasaan gue, hati gue, pikiran gue, berdarah darah.."

Mas Tommy: "Ihh.. sekarang masih?"

Teman: "Tinggal dikit sih.. Kok lo tenang tenang aja sih Tom selama ini? Mestinya elo lebih parah kan?"

Mas Tommy: Ya beda. Kalo gue berdarah darah gue diem aja, gue nikmati. Kalo lo kan teriak teriak, tetangga denger, ga penting lagi.. 

Teman: Pantes lo cepet pinter, gue lambat nih..!

Mas Tommy: Ya gapapa, itu kan pilihan. Lo mau lambat boleh, mau cepet boleh.. Ya untung gue dikodratkan sama Tuhan, ya kalo ada apa-apa gue santai gue nikmati, gue ga enak gue nikmati sendiri, gue ngga ajak-ajak temen.. kalo enak gue baru ngajak-ngajak temen..

Hahaha (tertawa bahagia). Ya, ini memang stylenya Mr Eddy banget, mau sedih, sakit, jungkirbalik, dan berdarah-darah pun semuanya disimpan sendiri dan dinikmati. Bukankah itu esensi kehidupan? Bisa menari di tengah hujan badai, dan bisa menikmati pahitnya kopi? Rumi, sang filsuf Sufi dari Timur Tengah pernah berkata: "Kalau di setiap polesan kita menjerit-jerit kesakitan, kapan kita akan bersinar?"

Sang mistis itu juga pernah berkata: "Disiplin dan kesakitan adalah sebuah proses yang memurnikan perak dari zat-zat sekunder lainnya, dan ujian-ujian ini laksana seorang yang mendidihkan emas untuk memisahkannya dari kotoran-kotoran impuritas."

Ya, kita semua memiliki pilihan. Ketika kita berdarah-darah, apakah kita akan teriak-teriak mengeluh, atau diam saja, menerimanya, dan maju terus kedepan? Kedengarannya tidak mudah memang untuk menikmati penderitaan tersebut. Tetapi ingatlah, karakter dan kepribadian kita tidak beda jauh dengan otot, kalau kita disiplin latihan (dalam konteks ini dengan menjaga pikiran kita dan melatih perasaan kita), lama-lama kita bisa merubah, dalam kata-kata Pak Eddy, yang tidak enak menjadi enak, dan yang enak menjadi enak sekali.

Luar biasa, bukan? Kenyataan adalah kenyataan, ia hanyalah sekedar begitu saja apa adanya. Bagaimana kita memilih untuk menanggapinya adalah pilihan pribadi kita.

Bukan berarti tidak boleh mengeluh ya, Mr Eddy memang pernah membahas soal mengeluh, dan kita akan bicara mengenai itu nanti. Tapi intinya, kalau mau curhat ya kalau bisa jangan berlebihan, jangan meraung-raung seperti orang yang berdarah-darah.. Minimal, sebelum curhat, coba nikmati saja dulu.. Tapi bukan berarti kalau berdarah beneran jadi ngga pergi ke dokter ya! Hahaha.

Salam Rahayu,