Tuesday, February 24, 2015

Manusia Konsekuen

Salah satu privilege saya untuk pernah bertemu Mr Eddy adalah Beliau senantiasa memberi murid-muridnya nasihat untuk kehidupan. Lucunya, pas kita mendengar nasihat Beliau, kita benar-benar merasa: "Yaa, tidak masalah, pasti saya bisa jalani.. Makasih ya Pak, atas nasehatnya.. Saya mengerti kok, paham betul kok, maksud Bapak."

Kemudian, ketika kita menjalani kehidupan ini, kemudian kena batu sandungan, kita mengerang-erang terluka. Kita lupa akan pengertian dari nasihat Beliau. Kita lupa akan nasihat Beliau, sama sekali. Kita mengeluh, kita marah-marah, kita menderita. Mengapa kita? Kemudian sang Semesta akan membawa diri kita untuk mengingat ajaran Beliau.

"Oh iya ya, dulu kan Pak Eddy pernah bilang begitu. Aduuh, pas dilihat keadaanku yang sekarang, kok rasanya nancep banget ya? Pas banget. Sakit memang, tapi ini adalah kesempatan emas untuk menjalankan nasihat Beliau." Dan ketika kita benar-benar bisa meresapi dan menjalankan nasihat beliau, barulah kita benar-benar mengerti, paham dan mampu memaknai nasihat Beliau secara luar-dalam.

Sadis, memang. Berarti, untuk setiap nasihat, atau teori, kemungkinan besar (atau pasti), akan ada sebuah life event untuk menginisiasi kita dan memastikan kita benar-benar mengerti akan life lesson tersebut. Kalau tidak, ya kita tidak akan mengerti-mengerti. Hehehe. Apakah berarti setiap kesulitan hidup harus kita terima sebagai kesempatan untuk mematangkan persepsi kita dan menerapkan ajaran Mr Eddy? Lah, kok kita malah harus senang ya, malah harus bilang.. asyikkk... saat diberi kesulitan dan ujian oleh sang Semesta, ya? Hahaha. Makanya kita terlihat gila di depan mata orang awam. Tidak rasional. Sebab kita tidak takut sakit. Kita tidak takut sengsara sebentar, yang kita mampu nikmati, untuk bahagia selama-lamanya.. hehehe

Murid Edhaka ini kasih contoh ya:

Mr Eddy selalu berkali-kali bilang, berkali-kali menegaskan: Menjadi manusia itu harus menjadi seorang manusia yang konsekuen:

"Padahal kan gue udah milih yang enak tom, elo milih yang ga enak. Tapi kenapa elo lebih canggih daripada gue? Gue milih yang enak lambat gue. Elo cepet smartnya. Kasi tau gue tom kenapa? Mmmmm.. kalo gue sih filosofinya beda ama lo.. kalo lo kan maunya enak sebentar. Enak sebentar, enak sebentar untuk sengsara selamanya.. kalo gue sengsara aja sebentar, gue nikmati. Abis itu.. ya enak selamanya.. hahaha gue ikut lo aja deh. Enakan gitu. Kenapa dari dulu aja ya gue ikut? Karena dulu perasaan gue bener.. lo juga bener.. gue juga bener.. kalo lo salah, gue juga salah.. my friend, masalahnya bukan salah atau benar, tapi masalahnya lo konsekuen apa ngga. Kalo elo konsekuen ya gaada masalah.. masalah mulai muncul karena kita tidak konsekuen. Karena masalah itu kita ciptakan. Kalo kita konsekuen tidak ada masalah juga. Begitu kita ga konsekuen, nah loo.. berhadapan sama kreasimu sendiri.."

Jadi, saya beranggapan kalau saya adalah seorang manusia yang konsekuen. Ya, saya berani saja, apapun yang terjadi, saya tanggung resikonya. Lah, begitu putus cinta (diputuskan.. hehehe). Kok langsung sedih, langsung kecewa, langsung pesimis, langsung marah-marah? Kalau konsekuen kan berati sudah siap menanggung resikonya. Pas lagi mulai menjalani cinta, kalau konsekuen, berarti sudah siap untuk suatu hari apabila cintanya harus putus.

Memang tidak gampang sih, untuk langsung terima apa adanya begitu saja, dan menanggung resiko dan berhadapan dengan hasil kreasiku sendiri. Namanya juga masih hidup di dunia ini ya, masih ada keterbatasan casing. Tetapi, kesadaran adalah kunci. Begitu saya sadar saya harus menjadi konsekuen, saya langsung berusaha terima. Hehehe. Dari situ ya sengsara dan rasa luka ini saya coba nikmati, dan itu bukan namanya proses penyembuhan ya? Dengan kita refleksikan, dengan kita menyadari, semoga kita menjadi lebih baik.. Dan ketika hal itu terjadi, semoga ini sengsaranya bener-bener sebentar doang ya, terus enak selama-lamanya. Amin! hehehe

Salam rahayu,

Thursday, February 19, 2015

Perjalanan di Negeri Sakura

Hai lagi para pembaca yang kuhormati dan kucintai.. hehe. Apakabar semua? Mohon dimaafkan ya kalau updatenya agak jarang dan telat.. Akhir-akhir ini lagi berasa sedikit menurun, sampai sempat berantem sama pacar segala (ceritanya nanti mungkin dibahas kapan-kapan.. hehehe), tapi syukurlah bisa menemukan titik tumpu untuk berjalan terus lagi. :)

Tidak ada yang namanya kebetulan. Segala sesuatu sudah dikehendaki dan diselenggarakan oleh sang Higher Self kita. Hal inilah yang membuat saya rajin bertanya: "Mengapa saya dikirim ke Jepang, ya?"

Mungkin, jawabannya adalah untuk belajar hidup, dan belajar santai. Kehidupan saya sebagai mahasiswa di Jepang memang jauh lebih senggang dibanding kehidupan saya sebagai mahasiswa di Amerika. Saking santainya, saya sampai terkadang merasa sedih dan panik, apakah saya sedang membuang-buang waktu saya? Tentu saja tidak! Lebih tepatnya, saya terlalu sibuk dan ketagihan mengikuti stress saya ketika saya belajar di Amerika, dan ketika ada saatnya untuk bersantai malah merasa stress karena terlalu santai. Saya lupa bagaimana caranya hidup tanpa stress. Nah loh? Mungkin memang demikianlah watak orang ya; ketika terlalu sibuk memohon-mohon waktu senggang, ketika diberi waktu senggang malah mencari-cari kesibukan. Kapan mau bahagia? Hehehe.

Saya bersyukur karena semester ini di Jepang saya berkesempatan untuk mengambil sebuah kelas spiritualitas. Hari ini, kami belajar mengenai psikoterapi Jepang: Nankai. Nankai memiliki arti melihat kedalam, dan metode psikoterapi ini memang terinspirasi oleh Buddhisme Zen yang populer di Jepang. Partisipan Nankai dituntut untuk merefleksikan pengalaman mereka secara objektif, dan mereka ulang hal-hal yang terjadi. Fakta, bukan opini maupun perasaan.

Partisipan diberi tiga pertanyaan:
1) Apa yang telah kamu terima (dari seseorang itu)
2) Apa yang telah kamu berikan (untuk seseorang itu)
3) Kesulitan apakah yang telah kamu perbuat (terhadap seseorang itu)

Biasanya, partisipan akan memulai tahap-tahap refleksi ini dari ibu, kemudian menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut mengenai ayah, kakak, adik, kekasih, keluarga, dan seterusnya. Dengan menjawab secara jujur dan objektif, partisipan Nankai dituntut untuk melepas lensa mereka. Partisipan Nankai harus belajar untuk melihat tidak dari satu arah saja, melainkan dari dua arah. Biasanya kita hanya memikirkan apa yang kita harap kita terima dari seseorang, tetapi kita jarang mensyukuri apa yang telah kita terima. Kita juga kerap mengingat kesulitan yang diperbuat oleh orang lain terhadap kita, tetapi kita dengan mudahnya melupakan kesulitan yang kita berikan kepada orang lain. Dengan mempertimbangkan hal-hal ini dari dua arah, partisipan akan sadar atas ketergantungan yang menyokong kehidupan mereka, dan dari tahap itu, rasa syukur dan kasih akan muncul.

Terapi Naikan ini diibaratkan dengan membersihkan lensa kita, yang kita pakai untuk melihat dunia. Kenapa lensa ini harus dibersihkan? Sebab kalau lensa kita kotor, pemandangan yang paling indah pun akan terlihat keruh di mata kita. Jadi teringat kata Mr Eddy:

"Yang penting, yang pokok, adalah pendewasaan dimensi dan pematangan jiwa kita. When there is maturity, there is no problem at all. There is so many problem but I don’t see it at all. Kita sendirilah yang berkewajiban untuk menyempurnakan kesadaran kita, inilah yang kita panggil kewajiban asasi manusia."

Saya rasa, bagian daripada menyempurnakan kesadaran kita adalah membersihkan lensa kita. Mengubah cara pandang kita terhadap hidup dan kehidupan. Jika kita bisa melakukan itu, maka kita akan menjadi sadar. Ketika kita sadar, maka:

"Anda akan mampu menikmati yang tidak enak sekalipun, dan merubah yang tidak enak menjadi enak, dan yang enak menjadi enak sekali. Suatu hari, ketika itu terjadi, Anda baru bisa merasakan hidup yang sesungguhnya. Anda hanya perlu split second untuk merubahnya."

Ada berbagai cara untuk untuk menjadi sadar. Nankai, membersihkan lensa, dan mengenal jati diri sendiri tentu hanyalah sebagian cara dari puluhan cara-cara lainnya. Tetapi, saya percaya, selama kita meniatkan hal tersebut, dan tidak lupa untuk belajar mengenal diri sendiri secara lebih dalam, maka kita tidak akan pernah jauh dari kebahagiaan. Ya, kebahagiaan yang hanya perlu sekejap mata saja untuk dimanifestasikan.

Para pembaca yang terhormat, selamat merasakan hidup yang sesungguhnya!

Salam rahayu,