Thursday, February 19, 2015

Perjalanan di Negeri Sakura

Hai lagi para pembaca yang kuhormati dan kucintai.. hehe. Apakabar semua? Mohon dimaafkan ya kalau updatenya agak jarang dan telat.. Akhir-akhir ini lagi berasa sedikit menurun, sampai sempat berantem sama pacar segala (ceritanya nanti mungkin dibahas kapan-kapan.. hehehe), tapi syukurlah bisa menemukan titik tumpu untuk berjalan terus lagi. :)

Tidak ada yang namanya kebetulan. Segala sesuatu sudah dikehendaki dan diselenggarakan oleh sang Higher Self kita. Hal inilah yang membuat saya rajin bertanya: "Mengapa saya dikirim ke Jepang, ya?"

Mungkin, jawabannya adalah untuk belajar hidup, dan belajar santai. Kehidupan saya sebagai mahasiswa di Jepang memang jauh lebih senggang dibanding kehidupan saya sebagai mahasiswa di Amerika. Saking santainya, saya sampai terkadang merasa sedih dan panik, apakah saya sedang membuang-buang waktu saya? Tentu saja tidak! Lebih tepatnya, saya terlalu sibuk dan ketagihan mengikuti stress saya ketika saya belajar di Amerika, dan ketika ada saatnya untuk bersantai malah merasa stress karena terlalu santai. Saya lupa bagaimana caranya hidup tanpa stress. Nah loh? Mungkin memang demikianlah watak orang ya; ketika terlalu sibuk memohon-mohon waktu senggang, ketika diberi waktu senggang malah mencari-cari kesibukan. Kapan mau bahagia? Hehehe.

Saya bersyukur karena semester ini di Jepang saya berkesempatan untuk mengambil sebuah kelas spiritualitas. Hari ini, kami belajar mengenai psikoterapi Jepang: Nankai. Nankai memiliki arti melihat kedalam, dan metode psikoterapi ini memang terinspirasi oleh Buddhisme Zen yang populer di Jepang. Partisipan Nankai dituntut untuk merefleksikan pengalaman mereka secara objektif, dan mereka ulang hal-hal yang terjadi. Fakta, bukan opini maupun perasaan.

Partisipan diberi tiga pertanyaan:
1) Apa yang telah kamu terima (dari seseorang itu)
2) Apa yang telah kamu berikan (untuk seseorang itu)
3) Kesulitan apakah yang telah kamu perbuat (terhadap seseorang itu)

Biasanya, partisipan akan memulai tahap-tahap refleksi ini dari ibu, kemudian menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut mengenai ayah, kakak, adik, kekasih, keluarga, dan seterusnya. Dengan menjawab secara jujur dan objektif, partisipan Nankai dituntut untuk melepas lensa mereka. Partisipan Nankai harus belajar untuk melihat tidak dari satu arah saja, melainkan dari dua arah. Biasanya kita hanya memikirkan apa yang kita harap kita terima dari seseorang, tetapi kita jarang mensyukuri apa yang telah kita terima. Kita juga kerap mengingat kesulitan yang diperbuat oleh orang lain terhadap kita, tetapi kita dengan mudahnya melupakan kesulitan yang kita berikan kepada orang lain. Dengan mempertimbangkan hal-hal ini dari dua arah, partisipan akan sadar atas ketergantungan yang menyokong kehidupan mereka, dan dari tahap itu, rasa syukur dan kasih akan muncul.

Terapi Naikan ini diibaratkan dengan membersihkan lensa kita, yang kita pakai untuk melihat dunia. Kenapa lensa ini harus dibersihkan? Sebab kalau lensa kita kotor, pemandangan yang paling indah pun akan terlihat keruh di mata kita. Jadi teringat kata Mr Eddy:

"Yang penting, yang pokok, adalah pendewasaan dimensi dan pematangan jiwa kita. When there is maturity, there is no problem at all. There is so many problem but I don’t see it at all. Kita sendirilah yang berkewajiban untuk menyempurnakan kesadaran kita, inilah yang kita panggil kewajiban asasi manusia."

Saya rasa, bagian daripada menyempurnakan kesadaran kita adalah membersihkan lensa kita. Mengubah cara pandang kita terhadap hidup dan kehidupan. Jika kita bisa melakukan itu, maka kita akan menjadi sadar. Ketika kita sadar, maka:

"Anda akan mampu menikmati yang tidak enak sekalipun, dan merubah yang tidak enak menjadi enak, dan yang enak menjadi enak sekali. Suatu hari, ketika itu terjadi, Anda baru bisa merasakan hidup yang sesungguhnya. Anda hanya perlu split second untuk merubahnya."

Ada berbagai cara untuk untuk menjadi sadar. Nankai, membersihkan lensa, dan mengenal jati diri sendiri tentu hanyalah sebagian cara dari puluhan cara-cara lainnya. Tetapi, saya percaya, selama kita meniatkan hal tersebut, dan tidak lupa untuk belajar mengenal diri sendiri secara lebih dalam, maka kita tidak akan pernah jauh dari kebahagiaan. Ya, kebahagiaan yang hanya perlu sekejap mata saja untuk dimanifestasikan.

Para pembaca yang terhormat, selamat merasakan hidup yang sesungguhnya!

Salam rahayu,


2 comments:

  1. saya sedang belajar... ehehe.

    Terimakasih kawan! background ceritanya mirip banget. sempet kaget, tapi Terimakasih y. walau diatas tetep aja harus belajar mnjadi manusia yg benar2 satu dengan HS. pendewasaaan diri lagi. gapapa malu tapi yg penting belajar. yuu uda ngerasain dan rasanya beda banget. hehe. terimakasih kawan, sesudah dan sebelumnya, jadi semangat lagi!

    nb. maaf juga bar updet. hehehe XD

    ReplyDelete