Sunday, November 16, 2014

The Tale of Humankind

Saya masih teringat cerita klasik dari Mr Eddy..

Konon katanya, alur perjalanan hidup kita itu mulai dari debu à tumbuhan à binatang à peri à manusia (yang akhirnya kembali ke debu). Manusia pun memiliki tahapan masing-masing; kita mulai dari yang keperibinatangan, kemudian menjadi keorang-orangan, sampai akhirnya lulus menjadi seorang manusia yang memiliki welas asih.

Kenapa kita mulai dari debu? Supaya kita belajar memiliki kemerdekaan yang tanpa batas. Kita belajar untuk membebaskan diri dari segala belenggu, dan supaya kita ingat selalu bahwa kita, dalam wujud atau tahapan apapun, selalu memiliki kemerdekaan yang tanpa batas: Kita bebas melakukan apapun yang kita mau. Belenggu-belenggu itu hanyalah khayalan dan ketakutan kita saja. Kenapa? Sebab sebagai debu, kita bebas keliling dunia. Mau masuk ke hutan kek, mau masuk ke mata orang kek, itulah ‘pekerjaan’ sebuah debu.

Kemudian, tatananya sebagai berikut:
-          Tumbuhan: belajar untuk pasif, tetapi produktif.
-          Hewan/binatang: belajar untuk dinamis dan produktif.

Mari kita bicarakan lebih lanjut mengenai hewan: kita ambil contoh ayam kampung. Jika pagi-pagi ayam kampung dilepas dan dibiarkan sendiri saja, se-ekor ayam kampung akan mampu membuat perut mereka kenyang sepanjang hari. Sebab mereka tahu dimana mereka bisa memperoleh makanan mereka – mereka memiliki sebuah ‘survival instinct’ untuk bertahan hidup dan berjuang. Kita-kita yang sudah menjadi minimal seseorang orang telah mewarisi ‘survival instinct’ tersebut, untuk bertahan hidup, berjuang, dan membuat perut kita kenyang. Masa kita kalah sama seekor ayam jantan kampung dan malas-malasan saja?

Sang peri tidak punya cangkang (casing). Jadinya mereka hanya mengambil wujud sebagai sebuah energi (roh) seperti malaikat-malaikat yang diketahui oleh khalayak umum. Walaupun sang peri sangatlah produktif dan rajin berkarya, sampai rela jungkir balik dan berdarah-darah untuk melindungi orang-orang dan para manusia, sang peri tetaplah pasif, ia tidak gembar-gembor, apalagi mengeluh sedikit pun. Ia tetap mempertahankan kualitas low-profilenya.

Lalu akhirnya peri itu memohon-mohon kepada Tuhan, supaya bisa diberi sebuah cangkang (casing) yang maha-dasyhat dan luarbiasa. Tidak lain dan tidak bukan ialah cangkang kita sendiri, tubuh orang (manusia) ini. Sang peri pun ingin menjalani kehidupan sebagai seorang orang (dan manusia) supaya bisa belajar daripada kesulitan dan jerih payah yang kita alami selama ini. Inilah yang kalian semua telah lalui, para pembaca yang tercinta, untuk menjalani kehidupan kalian yang sekarang ini. :)

Seperti layaknya debu merupakan bagian dari bintang di surga dan di semesta, ruh kita merupakan bagian dari peri dan dari diri Tuhan... :)

Salam Rahayu,


No comments:

Post a Comment